Bagi Subcomandante
Marcos, berperang bukanlah untuk membunuh atau dibunuh. Bagi satu di antara
tiga pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang berjuang
menuntut persamaan hak bagi warga suku asli Meksiko di Chiapas, Meksiko
Selatan, tersebut, berperang adalah untuk didengar.
Karena itulah,
menyusul gempuran hebat pasukan pemerintah Meksiko kepada Zapatista pada 1994,
dia dan kelompoknya memilih menafikan senjata. EZLN mengambil pihak yang mengawali konflik terbuka dengan aparat
pemerintah.
Sebagia gantinya,
Marcos memperkenalkan pola perjuangan baru: memanfaatkan kata sebagai senjata. Dia
pun menulis esai, puisi, dan buku. Sudah
sekitar 200 esai dipublikasikan tokoh yang identic dengan balaclava alias
penutup wajah dan pipa cangklong itu. Puluhan bukunya juga telah diterbitkan.
“kami tak
mau mendapatkan solusi melalui kekerasan. Kami justru ingin menciptakan kondisi
demokratis. Bagi kami, perlawanan bersenjata bukanlah satu-satunya cara,” kata
Marcos dalam satu kesempatan wawancara yang sangat jarang dia lakukan seperti
dikutip BBC.
Tak heran
kalau kemudian harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times menabalkan Zapatista
sebagai revolusi postmodern pertama di dunia. Maksudnya, revolusi bersenjata
yang berusaha untuk tidak pernah menggunakan senjata. Dan Marcos adalah otak di
balik revolusi cerdas itu.
Mungkin karena
itulah, dia dikami dan dicintai tak hanya oleh warga etnis Indian Malaya di
Chiapas, tapi juga sebagian besar warga Meksiko. Itu terbukti ketika pada 2001
dia melakukan Long March sejauh 3.000 kilometer dari Hutan Lacandon tempatnya
bergerilya selama ini menuju ke ibu kota Mexico City. Puluhan ribu warga
menyambut dia dengan gegap gempita sepanjang jalan.
Lewat Long
march yang diberi titel The Other Campaign itu pula, Marcos memaksimalkan
kepiawaianna dalam berpidato sebagai cara lain perjuangan dengan kata. Mata
dunia pun menjadi terbuka terhadap pengapnyakehidupan warga suku asli Meksiko.
Buntutnya,
Presiden Meksiko (kala itu) Vicente Fox pun langsung menawarkan dialog damai
dengan Zapatista. Tapi, Zapatista
menolak. Sebab, mereka menganggap itu hanya upaya Fox untuk merebut simpati public.
“kami hanya
menginginkan pemerintah mengubah konstitusi supaya hak-hak suku pedalaman
Meksiko yang kira-kira membentuk 10 persen populai Negara diakui dan
dilindungi,”tegas Marcos yang juga bertindak sebagai juru bicara Zapatitas.
Lalu, siapa sebenarnya pria di balih balaclava
itu? Pemerintah Meksiko yakin, Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen, pria
52 tahun, kelahiran Tamaupilas di utara Meksiko. Dia pernah menjadi dosen
filsafat di Universitas Otonomi Nasional Meksiko di bagian selatan negeri itu
untuk bekerja bersama suku asli yang mendiami wilayah tersebut.
Tagged:
Perang tanpa senjata, tentara tunduk dengan
aksara, kata adalah senjata, perang tanpa pedang, pena adalah senjata, ketika
aksara lebih bernyawa dari senjata, pena adalah pedang, siapa Marcos dari
Zapatista?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar