.breadcrumbs {padding:5px 5px 5px 0px; margin: 0px 0px 15px 0px; font-size:85%; line-height: 1.4em; border-bottom:3px double #e6e4e3;}

Sabtu, 11 April 2015

KATA ADALAH SENJATA


Bagi Subcomandante Marcos, berperang bukanlah untuk membunuh atau dibunuh. Bagi satu di antara tiga pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang berjuang menuntut persamaan hak bagi warga suku asli Meksiko di Chiapas, Meksiko Selatan, tersebut, berperang adalah untuk didengar.

Karena itulah, menyusul gempuran hebat pasukan pemerintah Meksiko kepada Zapatista pada 1994, dia dan kelompoknya memilih menafikan senjata. EZLN mengambil pihak yang mengawali konflik terbuka dengan aparat pemerintah.

Sebagia gantinya, Marcos memperkenalkan pola perjuangan baru: memanfaatkan kata sebagai senjata. Dia pun menulis esai, puisi, dan buku. Sudah sekitar 200 esai dipublikasikan tokoh yang identic dengan balaclava alias penutup wajah dan pipa cangklong itu. Puluhan bukunya juga telah diterbitkan.

“kami tak mau mendapatkan solusi melalui kekerasan. Kami justru ingin menciptakan kondisi demokratis. Bagi kami, perlawanan bersenjata bukanlah satu-satunya cara,” kata Marcos dalam satu kesempatan wawancara yang sangat jarang dia lakukan seperti dikutip BBC.

Tak heran kalau kemudian harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times menabalkan Zapatista sebagai revolusi postmodern pertama di dunia. Maksudnya, revolusi bersenjata yang berusaha untuk tidak pernah menggunakan senjata. Dan Marcos adalah otak di balik revolusi cerdas itu.

Mungkin karena itulah, dia dikami dan dicintai tak hanya oleh warga etnis Indian Malaya di Chiapas, tapi juga sebagian besar warga Meksiko. Itu terbukti ketika pada 2001 dia melakukan Long March sejauh 3.000 kilometer dari Hutan Lacandon tempatnya bergerilya selama ini menuju ke ibu kota Mexico City. Puluhan ribu warga menyambut dia dengan gegap gempita sepanjang jalan.

Lewat Long march yang diberi titel The Other Campaign itu pula, Marcos memaksimalkan kepiawaianna dalam berpidato sebagai cara lain perjuangan dengan kata. Mata dunia pun menjadi terbuka terhadap pengapnyakehidupan warga suku asli Meksiko.

Buntutnya, Presiden Meksiko (kala itu) Vicente Fox pun langsung menawarkan dialog damai dengan Zapatista. Tapi, Zapatista menolak. Sebab, mereka menganggap itu hanya upaya Fox untuk merebut simpati public.

“kami hanya menginginkan pemerintah mengubah konstitusi supaya hak-hak suku pedalaman Meksiko yang kira-kira membentuk 10 persen populai Negara diakui dan dilindungi,”tegas Marcos yang juga bertindak sebagai juru bicara Zapatitas.

Lalu, siapa sebenarnya pria di balih balaclava itu? Pemerintah Meksiko yakin, Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen, pria 52 tahun, kelahiran Tamaupilas di utara Meksiko. Dia pernah menjadi dosen filsafat di Universitas Otonomi Nasional Meksiko di bagian selatan negeri itu untuk bekerja bersama suku asli yang mendiami wilayah tersebut.

Tagged:
Perang tanpa senjata, tentara tunduk dengan aksara, kata adalah senjata, perang tanpa pedang, pena adalah senjata, ketika aksara lebih bernyawa dari senjata, pena adalah pedang, siapa Marcos dari Zapatista?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar